PEMIKIRAN MAHFUD MD TENTANG HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN

Latar Belakang

Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase. Bila  diibaratkan benda ia bagaikan permata, yang tiapirisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yangmelihat atau memandangnya. Bernard Arief Sidharta menyebutkan bahwa,hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan, dan sebagainya) dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, bentuknyaditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan sifat masyarakat itu sendiri.[1]

Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari multy disiplin ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan lain-lain. Ketika kita berbicara Hukum Agraria (hukum pertanahan) ini tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah, filsafatPendekatan hukum melalui multy disiplin tersebut telah melahirkan berbagai disiplin hukum di samping philosophy of law dan science of law, juga seperti teori hukum ( legal theory/theory of law), sejarah hukum (history of law), sosiologie of law, anthropology of law, comparative of law , phychology of law dan sekarang politic of law.

Asumsi dasar dari pemikiran diatas adalah bahwa hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada zaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Pada sisi lain, hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum.[2]

Hubungan kausalitas antara antara politik dan hukum sebagai sub system kemasyarakatan disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Dari pendekatan empirik hal itu merupakan suatu aksioma yang tak dapat diitawar lagi. Tetapi, ada juga para yuris yang lebih percaya dengan semacam mitos bahwa politiklah yang harus tunduk pada aturan hukum. Inipun , sebagai das sollen, tak dapat disalahkan begitu saja.

hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tertentu akan melahirakan hukum dengan karakter tertentu pula. kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya bisa dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan hukum. Perangkat hukum kita, sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidak percayaan atas hukum. Inilah tragedi panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di Indonesia.

  1. A.       Hubungan Politik dan Hukum di Indonesia

Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu: (1) Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (2) Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. (3) Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.[4]

Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[5] Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan.

Menurut Mahfud MD, secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah religious nation state atau negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[6]

Teori politik hukum yang dirumuskan oleh Mahfud MD. maka nampaknya penulis cenderung berkesimpulan bahwa yang terjadi Indonesia adalah politik determinan atas hukum. Situasi dan kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan.

Hubungan politik dengan hukum di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang mendasarinya. Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan cita).

Kedua,  politik determinan terhadap hukum dalam arti bahwa dalam kenyataannya baik  produk normative maupun implementasi-penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris.

Ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent  atau saling tergantung yang dapat dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”. Mahfud MD mengatakan hukum dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum”. Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable pengaruh), politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh).

Pilihan atas asumsi dalam buku ini bahwa produk hukum merupakan produk  politik, mengantarkan pada penentuan hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentuakan melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Dalam buku ini membagi variable bebas (konfigurasi politik) dan variable terpengaruh (konfigurasi produk hukum) kedalam kedua ujung yang dikotomis.

Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter (non-demokrtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau menindas. Konsep demokratis atau otoriter (non-demokratis) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif dan kebebasan pers.

Sedangkan konsep hukum responsive otonom diidentifikasi berdasarkan pada proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum. Pengertian konseptual yang dipakai dalam buku ini yaitu :

  1. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan Negara. Dengan demikian pemerintah lebih merupakan “komite” yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan parpol berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam membuat kebijakkan,sedangkan pers dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa takut ancaman pemberedelan.
  2. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan posisi pemerintah yang sangat dominan dalaam penentuan dan pelaksanaan kebijakan Negara, sehingga potensi dan aspirasimasyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Dan juga badan perwakilan dan parpoltidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak  pemerintah, sedangkan pers tidak mempunyai kebebasan dan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah dan berada dalam bayang-bayang pemeredelan.
  3. Produk hukum responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan didalam masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan lembaga peradilan, hukum diberifungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat.
  4. Produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik  pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Dan biasanya bersifat formalitas dan produk hukumdiberi fungsi dengan sifat positivis instrumentali satau menjadi alat bagi pelaksanaan idiologi dan program pemerintah

 

  1. B.        Dominasi Politik Terhadap Hukum

Mahfud MD mengatakan, bahwa relasi hukum dan politik dapat dibagi menjadi tiga model hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum determinan atas politik kerena setiap agenda politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, sebagai das sein, politik determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum yang ada di depan kita tak lebih dari kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing. Ketiga, politik dan hukum berhubungan secara interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim sedangkan hukum tanpa pengawalan akan lumpuh. Melihat kategorisasi yang ada, secara normatif konsep relasi ketiga adalah yang paling sesuai.

Akan tetapi, kalau melihat dari iklim politik Indonesia. Saat ini negara kita sedang terjadi relasi Das sein, dimana politisasi dominan terhadap produk hukum. Sehingga produk yang dihasilkan tak lebih dari kristalisasi tawar-menawar antarelite politik. Ilmu hukum juga merupakan ilmu bantu dalam ilmu politik. Hal ini dapat dipahami karena sejak dahulu terutama di Eropa barat ilmu hukum dan politik memang sudah demikian erat. Kedua-duanya memiliki persamaan daya “mengatur dan memaksakan undang-undang” (law enforcement) yang merupakan salah satu kewajiban negara yang begitu penting. Di samping itu analisis-analisis mengenai hukum serta hubungannnya dengan negara, mulai diperkembangkan pada abad ke-19, tetapi pada itu masih terbatas pada penelitian mengenai negara–Negara Barat saja.

Sebaliknya para sarjana hukum melihat negara sebagai lembaga atau institusi dan menganggapnya sebagai organisasi hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban manusia. Fungsi negara adalah menyelenggarakan penertiban, tetapi oleh ilmu hukum penertiban ini dipandang semata-mata sebagai tata hukum. Manusia dilihatnya sebagai obyek dari sistem hukum, dan dianggap sebagai pemegang hak serta kewajiban politik semata-mata. Ilmu hukum tidak melihat manusia sebagai makhluk sosial-budaya.

Akibatnya adalah bahwa ada kecenderungan pada ilmu hukum untuk “meremehkan” kekuatan-kekuatan social dan budaya. Namun, dari aspek-aspek daya yang “memaksa” inilah ilmu politik memandang perlu untuk mengungkap dalam kaitannya seprti dengan kesadaran maupun partisipasi politik. Hal ini sesuai dengan pendapat Hans Kelsen,[7] bahwa negara sebagai suatu badan hukukm atau Rechtsperson (juristicperson). Dalam pengertian tersebut badan hukum merupakan sekelompok orangyang oleh hukum diperlaskukan sebagai suatu kesatuan sebagai suatu person yang mempunyai hak dan kewajiban. Setelah mengurai mengenai hubungan antara politik dan hukum, maka penulis mengambil satu asumsi determinan, yaitu politik yang determinan terhadap hukum, karena penulis berpendapat bahwa asumsi inilah yang secara nyata menggambarkan kondisi di Indonesia saat ini.

  1. Tinjauan Teoritis Mengenai Dominasi Politik

Selain pendekatan yuridis normatif dalam pengkajian hukum, hukum juga masih mempunyai sisinya yang lain, yaitu hukum dalam kenyataannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam kenyataan sosial itulah hukum menemukan kenyataannya yang paling hakiki, bahwa sebagai salah satu dari sub sistem sosial, hukum tidak lepas dari pengaruh sub sistem sosial lainnya, termasuk politik.

Dalam Black’s Law Dictionary, dominasi (dominate) diartikan sebagai to master (someone or something) or to control (someone or something).[8] Yaitu, keadaan menguasai seseorang atau sesuatu. Tanpa disadari oleh manusia, politik merupakan sub sistem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan sub sistem sosial lainnya. Politik dapat mempengaruhi kehidupan sosial, mempengaruhi keadaan ekonomi, mempengaruhi keberlangsungan budaya, dan tentunya mempengaruhi hukum. Jadi, dapat dikatakan bahwa politik merupakan dominasi dalam sistem sosial.

Pada awal abad ke-21 ini semakin banyak orang menyadari bahwa politik merupakan hal yang melekat pada lingkungan hidup manusia. Politik hadir di mana-mana di sekitar manusia, sadar atau tidak mau, politik ikut mempengaruhi kehidupan manusia sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Politik akan berlangsung sejak kelahiran sampai kematian manusia, maka dari itu, aristoteles pernah mengatakan bahwa politik itu merupakan master of science dan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dalam suatu negara .[9] Hal yang terpenting diatas adalah bahwa politik berpengaruh pada modernisasi. Modernisasi adalah proses menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perubahan demi kemajuan. Ditinjau dari segi politik, modernisasi dengan berpegang pada demokrasi sangat sukar diwujudkan, yaitu karena sistem demokrasi sendiri tergantung dari konsensus. Berbeda halnya dengan negara totaliter, di mana perubahan dapat diadakan dengan dipaksakan dari atas, tanpa menghiraukan manusianya.[10] Jadi, secara teoritis, politik dapat mengubah sendi-sendi kehidupan sosial suatu bangsa.

  1. Politik Dominan Terhadap Hukum

Max steiner, mengutarakan idiom bahwa “sejemput kekuasaan lebih bermanfaat daripada sekarung hak”.[11] Hal ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh politik pada hukum. Secara politis historis, terbuktikan bahwa perkembangan masyarakat dapat dihambat oleh beberapa negara yang mampunyai pemerintahan absolut atau pemerintahan colonial.[12] Seperti Indonesia pada masa 200 tahun pertama pemerintahan Hindia Belanda, pada masa tersebut, masyarakat cederung bersifat keaderahan, belum menyadari kesatuannya karena dijejali politik devide et impera, sehingga belum bersatu padu.

Adanya perbedaan jawaban atas pertanyaan tentang mana yang lebih determinan diantara keduanya, terutama perbedaan antara alternatif jawaban yang pertama dan kedua pada baba terdahulu, disebabkan oleh perbedaan cara para ahli memandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpegang teguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkatan hubungan antar anggota masyarakat termasuk daam segala kegiatan politik. Sedangkan mereka yang memandang hukum dari segi das sein (kenyataan) atau para penganut paham empiris melihat secara realistis bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya.[13]

Karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.[14] Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik.

Konstatasi ini dapat dilihat fakta bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pelaksanaan fungsi dan penegakkan hukum tidaklah berjalan seiring dengan perkembangan strukturnya. Dikatakan bahwa jika program kodifikasi dan unifikasi hukum dijadikan ukuran maka pembangunan struktur hukum telah berjalan cukup baik dan stabil karena dari waktu ke waktu ada peningkatan produktivitas.[15]

Teori-teori yang melengkapi khasanah pengetahuan mengenai dominasi politik terhadap hukum adalah sebagai berikut :

  1. Pascal menyatakan bahwa : La justice est sujette a dispute, la force est tres reconnaissable et sans dispute. Ainsi on n’a pudonner la force a la justice, parce que la force a contredit la justice et a dit qu’elle etait injuste, et a dit que c’etait elle qui etait juste. Et ainsi ne pouvant faire que ce qui etait juste fut fort, on a fait que ce est fort fut juste.[16] Yang artinya kurang lebih adalah keadilan menimbulkan pertentangan, kekuasaan tampak nyata dan tidak menimbulkan pertentangan. Keadilan tidak dapat disetarakan dengan kekuasaan, karena kekuasaan dapat menyangkal keadilan dan menyatakan bahwa keadilan itu tidak adil. Sehingga kemudian dapat membuat apa yang benar itu adalah kekuatan dan kekuatan itu benar.
  2. Lassalle seorang teoritis aliran hukum alam, menyatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis dan hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu Negara.
  3. Ludwig Gumplowicz menyatakan bahwa negara adalah eine organisation der herrschaft einer minoritat uber eine majoritat (yaitu, organisasi berdasarkan dominasi kaum minoritas terhadap kaum mayoritas). Hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya.[17]
  4. Anton Menger memperoleh kesimpulan : alle bisherigen rechtsordnungen sind in letzter reihe aus machtverhaltnissen entstanden und haben deshalb immer den zweck verfolgt den nutzen der wenigen machtingen auf kosten der breiten volkmassen zu fordern.[18] Kesimpulan dari pendapat Menger adalah bahwa semua ketentuan hukum berada pada garis akhir dari keseimbangan kekuasaan yang dikembangkan and oleh karena itu tujuannya selalu akan mengejar penggunaan alat kekuatan negara untuk meredam tuntutan masyarakat.
  5. Para aliran positivis menarik kesimpulan bahwa kepatuhan kepada hukum itu tak lain daripada tunduknya orang-orang yang lebih lemah pada kehendak orang-orang yang lebih kuat. Jadi, hukum adalah “hak orang terkuat”.[19]
  6. John Austin mendefinisikan hukum sebagai peraturan yang diadakan untuk member bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa diatasnya.[20] Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang baik dan buruk, namun didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.

Menggunakan asumsi dasar kedua dalam hubungan antara politik dan hukum, yaitu politik determinan terhadap hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Sebagai produk politik bisa saja hukum itu memuat isi yang lebih sarat dengan kepentingan politik kelompok dan jangka pendek yang secara substansial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya.[21]

Di dalam sistem demokrasi di Indonesia, masyarakat berhak, bahkan wajib berpolitik untuk menentukan haluan negara, membuat undang-undang, dan mengawasi pelaksanaan kekuasaan negara. Hukum dibentuk sesuai dengan hasil proses politik dalam masyarakat. Setelah hukum dibentuk dalam wujud undang-undang atau peraturan perundang-undangan lain, maka setiap orang yang mendiamiwilayah republik Indonesia harus tunduk kepadanya, tidak terkecuali organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh politik yang semula ikut menyusun hukum.[22]

Konfigurasi Politik dan Karakter Hukum

Jadi, meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya (Moh. Mahfud MD, 2006 : 65). Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang nyata dan eksis dalam suatu sistem politik. Konfigurasi politik ini biasanya terwujud dalam partai politik. Bila partai-partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya,maka disebutkn bahwa konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Jika partai-partai politik yang ada itu tidak berperan secara nyata dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya, maka dikatakan bahwa konfigurasi itu adalah konfigurasi politik yang non-demokratis (Bintan Regen Saragih, 2006 : 33).

Di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis (Moh. Mahfud MD, 1998 : 15). Dari pernyataan tersebut, maka Moh. Mahfud MD membagi dua variabel antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum yang dipengaruhi konfigurasi tersebut, yang dibuat berdasarkan penelitian beliau atas konfigurasi politik dan karakter hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

Appledoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008

Friedmann, Wolfgang, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum

Garner, Bryan A, Black’s Law Dictionary, seventh edition, West Group, St.Paul Minn, 1999.

Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa

Mahfud MD, Moh, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998

Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005

Hubungan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut (Moh. Mahfud MD, 1998 : 15):
No Konfigurasi Politik Karakter Hukum
Demokratis Otoriter Responsif Konservatif
1 Parpol dan parlemen berperan aktif menentukan kebijakan negara Parpol dan parlemen lemah dan fungsinya lebih sebagai rubber stamps Pembuatannya partisipatif bagi masyarakat Pembuatannya sentralistik di lembaga eksekutif
2 Eksekutif bersifat netral sebagai pelaksana Eksekutif bersifat intervensionis Isinya aspiratif atas tuntutan masyarakat Isinya positivis instrumentalis

3 Pers bebas Pers terpasung, terancam pembredelan Cakupannya bersifat limitative (close interpretative) Cakupannya cederung open interpretative

Dapat diakatakan bahwa politik hukum pada konfigurasi politik yang demokratis adalah untuk menciptakan hukum yang mendekatkan tata hukum pada realitas sosial, sedangkan pada konfigurasi politik yang non-demokratis umumnya menciptakan hukum untuk mempertahankan kekuasaan dari rezim penguasa sehingga menjauhkan tata hukum dengan realitas soosial (Bintan Regen Saragih : 34). Konfigurasi politik, baik demokratis maupun non demokratis telah menjadi bagian dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Konfigurasi politik demokratis tercermin sejak masa kemerdekaan, dengan sistem multipartai, menciptakan produk-produk hukum yang menhapus dominasi colonial dan mengutamakan kebebasan rakyat Indonesia. Hal ini merupakan euphoria kemerdekaan dan kebebasa Indonesia dari belenggu penjajah. Sedangkan fase politik non demokratis secara visual, walaupun disuarakan secara demokratis, tampak pada masa orde baru. Dengan pemasungan kepada aspek-aspek tertentu, seperti ketidakbebasan pers dan partai.
Pada era reformasi saat ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem kentatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem sentralisasi ke sistem otonomi. Perubahan paradigm ini sudah barang tentu berdampak kepada sistem hukum yang dianut selama ini, yaitu yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak kepada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat dan juga prduk-produk hukum yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah (Abdul Manan : 104). Produk hukum yang dihasilkan oleh konstitusi selayaknya harus mengedepankan kepentingan rakyat dan daerah, namun, pada kenyataannya dominasi politik kian kencang dan tidak terkendali. Partai politik yang secara teoritis merupakan penjelmaan kehendak rakyat, malah menjadi ajang perebutan kekuasaan, sedangkan hukum menjadi salah satu alatnya.
Partai politik melalui DPR mempunyai peran penting dalam pembentukan hukum, namun, jika kenyataannya partai politik hanya menjadi ajang mempertahankan maupun memperoleh kekuasaan, maka dengan determinannya politik atas hukum, yang terjadi adalah hukum akan mengikuti arah politik yang keliru, sehingga hukum dapat kehilangan legitimasinya. Seorang dosen pernah berbicara, bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, uang dan kepentingan-kepentingan yang koruplah yang berbicara, dan dalam kenyataannya hal ini terjadi, misalnya tentang pembentukan peraturan mengenai peralihan hutan lindung, yang menjebloskan beberapa anggota DPR ke dalam penjara, atau yang lebih tinggi indikasinya adalah suap dalam pembentukan UU tentang pemekaran daerah. Jika hal ini terjadi, maka dominasi politik terhadap hukum membuka peluang adanya tindak pidana korupsi berupa political bribery maupun political kickback. Mengenai political bribery maupun political kickback, akan dibahas penulis dalam tulisan yang lain.

BAB III

Kesimpulan

    1. hubungan antara politik dan hukum dapat dilihat, baik dari segi das sollen maupun das sein. Meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, hal ini terjadi karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Politik mempengaruhi hukum melalui konfigurasinya, yaitu di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis
    2. Pada saat sekarang ini di Indonesia, dominasi politik terhadap hukum semakin menguat. Partai politik yang seharusnya menjadi penjelmaan kehendak rakyat, sekarang hanya terkesan menjadi kendaraan untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan. Hal ini akan berakibat yang sangat serius, karena tentunya akan menghasilkan hukum yang hanya sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu tanpa memperhatikan kesesuaiannya dengan tujuan Negara.

[1] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010) hlm.

[2] Moh. Mahfud MD.1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama Media : Yogyakarta.

[3] Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum. Paper, pelatihan Metode Hukum  Normatif, Surabaya: Unair, 1997

[4] Moh. Mahfud, MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. xi-xii.

[5] Moh. Mahfud, MD., Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 9.

[6] Ibid, hlm. 8

[7] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russeil & Russell, 1961), Hal. 181-191

[8] Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, seventh edition, West Group, St.Paul Minn, 1999.

[9] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005. hal. 101

[10] , Astrid S Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, 1983. Hal. 180

[11] L.J. Van Appledoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008. Hal. 57

[12] Ibid, Hal. 163

[13] Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998, hal. 8

[14] Ibid, Hal. 13

[15] Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006. Hal. 64

[16] Ibid, Hal. 57-58

[17] Ibid

[18] Ibid, Hal. 59

[19] Ibid

[20] Wolfgang Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum. Hal. 149

[21] Ibid, Hal. 37

[22] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

Tinggalkan komentar