MOTIVASI ISLAM TENTANG PEMENUHAN EKONOMI

Allah telah mengatur segala sesuatu termasuk rizki manusia satu dengan yang lainnya. Tak bisa dielakkan lagi, kita hidup di dunia memerlukan segala sesuatu termasuk harta. Mencari rizki merupakan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan, dalam pemenuhan kebutuhannya tentu saja dengan cara usaha dengan berbagai cara. Tetapi perlu diingat, sebagai seorang muslim dalam usaha mencari rizki harus dengan cara yang benar, dalam arti dihalalkan hukum Islam baik prosesnya maupun hasilnya.

Bekerja dan berusaha dalam kehidupan duniawi merupakan bagian penting dari kehidupan seseorang dalam mempraktekkan Islam, karena Islam sendiri tidak menganjurkan hidup hanya semata-mata hanya untuk beribadah dan berorientasi pada akhirat saja, namun Islam menghendaki terjadi keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi.

Islam telah mengajarkan tentang bagaimana cara mencari rizki yang halal lagi, tetapi tidak semua orang dapat mengetahui dan memahami tentang hal itu. Maka berikut ini kami bahas lebih lanjut tentang bagaimanakah tata aturan Islam bagi seorang muslim dalam mencari rizki yang halal.

  1. A.      Motivasi Mencari Kehidupan (Pemenuhan Ekonomi)

Rizki ialah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup. Hal kedua yang perlu dapat diketahui adalah kata halal. Kata halal berasal dari kata kata yang berarti “lepas” dari ikatan atau “tidak terkait”. Sesuatu yang halal adalah lepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi.
Baca lebih lanjut

PEMIKIRAN MAHFUD MD TENTANG HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN

Latar Belakang

Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase. Bila  diibaratkan benda ia bagaikan permata, yang tiapirisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yangmelihat atau memandangnya. Bernard Arief Sidharta menyebutkan bahwa,hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan, dan sebagainya) dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, bentuknyaditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan sifat masyarakat itu sendiri.[1]

Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari multy disiplin ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan lain-lain. Ketika kita berbicara Hukum Agraria (hukum pertanahan) ini tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah, filsafatPendekatan hukum melalui multy disiplin tersebut telah melahirkan berbagai disiplin hukum di samping philosophy of law dan science of law, juga seperti teori hukum ( legal theory/theory of law), sejarah hukum (history of law), sosiologie of law, anthropology of law, comparative of law , phychology of law dan sekarang politic of law.

Asumsi dasar dari pemikiran diatas adalah bahwa hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada zaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Pada sisi lain, hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum.[2]

Hubungan kausalitas antara antara politik dan hukum sebagai sub system kemasyarakatan disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Dari pendekatan empirik hal itu merupakan suatu aksioma yang tak dapat diitawar lagi. Tetapi, ada juga para yuris yang lebih percaya dengan semacam mitos bahwa politiklah yang harus tunduk pada aturan hukum. Inipun , sebagai das sollen, tak dapat disalahkan begitu saja.

hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tertentu akan melahirakan hukum dengan karakter tertentu pula. kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya bisa dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan hukum. Perangkat hukum kita, sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidak percayaan atas hukum. Inilah tragedi panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di Indonesia.

  1. A.       Hubungan Politik dan Hukum di Indonesia

Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu: (1) Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (2) Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. (3) Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.[4]

Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[5] Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan. Baca lebih lanjut

Implementasi Qiyas dalam Hukum Islam (Studi Analisi tentang Bayi Tabung)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Dari masa ke masa hukum Islam terus berkembang, baik dari masa Rasulullah SAW sampai masa kini. Sehingga, dalam perkembangannya dapat diketahui bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum yang asasi. Al-Qur’an sebagai sebagai salah satu kitab suci yang mengandung pokok-pokok ajaran Islam yang di dalamnya terkandung hukum-hukum yang mengatur tentang kehidupan, akan tetapi dalam ayat-ayatnya tidak semua dapat dipahami dengan mudah sebab teks-teks yang ada pada al-Qur’an substansinya mengandung pemahaman global untuk itu masih dibutuhkan ilmu yang bisa menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. Sedangkan substansi di dalam al-Sunnah yaitu berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
عَنْ مُعاَذٍبْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ لماَّ بَعَثَهُ إِلىَ الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ : اَقْضِى بِكِتاَبِ اللهِ. قَالَ: فَإنْ لَمْ تَجِدْ  فِى كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ؟. قَالَ: فَإنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِى كِتاَبِ اللهِ؟. قَالَ: اَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلَا أَلُوْ. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره وقال: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لما يرضى رسول الله.(رواه ابوداودوالترمذى واللفظ لأبى داود)Pada periode permulaan, metode penetapan hukum dilakukan sejalan dengan peristiwa-peristiwa aktual yang sedang terjadi. Penetapan tersebut didasarkan pada suatu masalah yang sedang dihadapi umat Islam pada saat itu dan perlu penjelasan hukumnya. Mereka biasanya langsung menanyakannya kepada Nabi Muhammad SAW dan beliaupun langsung memberikan jawabannya, baik dari kutipan al-Qur’an yang diturunkan maupun kutipan dari al-Hadits. Apabila sahabat mendapatkan kesulitan mengenai sumber-sumber, baik karena jarak yang jauh antara mereka dengan Nabi Muhammad SAW atau karena hal-hal lain, maka mereka berijtihad dengan menggunakan rasio (ra’yu). Dalam hal ini Rasulullah SAW sendiri bahkan memberi restu dan dorongan psikologis atas tindakan para sahabat tersebut. Ketika Rasulullah SAW mengutus  Muadz bin Jabal untuk menjadi Gubernur di Yaman.[1]

Artinya:      “Dari Muadz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah SAW ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepadanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa ke depanmu? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi bertanya lagi: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia menjawab: “Saya berhukum dengan Sunnah Rasulullah”. Nabi bertanya lagi: “Jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasul SAW” ? ia menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapatku”. Mendengar jawaban itu Rasul meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat akan utusannya (Muadz) Rasulullah Saw, sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya”.[2]

 

Oleh karena itu, ketika Rasulullah wafat dan al-Qur’an sudah turun secara totalitas, maka peranan beliau yang menemukan dan menyingkap hukum Islam kemudian diteruskan oleh para mujtahid melalui pemahaman-pemahaman dan dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebab peristiwa-peristiwa hukum terus mengalami perkembangan, oleh karena itu para mujtahid melakukan ijtihad untuk menggunakan berbagai metode istinbath hukum yang diperoleh dari kedua sumber hukum tersebut. Sehingga, membuka peluang untuk mengembangkan hukum Islam agar tetap aktual dan mampu menjawab dinamika perkembangan umat Islam setiap masa. Baca lebih lanjut